Sejarah Teungku Syiah Kuala Aceh
seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki
pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada
umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa
Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin
Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.
Menurut riwayat
masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan
menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13.
Pada masa mudanya, ia
mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada
ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah
haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur
Tengah untuk mendalami agama Islam
Kitabnya yang berjudul Umtad Al
Muhtajin membuka mata kita bagaimana Syeikh Kuala membangun jaringan intelektualnya.
Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hejaz. Ia belajar tidak
hanya ilmu “lahir’ saja tetapi juga ilmu”batin”. Kemasyuhrannya dalam
penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih
menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.
Syeikh Kuala memang bukan nama asing
bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia
Islan international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh
tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Sinkel, Fansur Aceh Utara
ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf
hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara.
Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama universitas
di Banda Aceh.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya
sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama
Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian
masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul
nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At
Tirimisi, dan lain-lain yang mempunyai reputasinya mendunia.
Ayahnya menjadi guru pertama dalam
pengetahuan agama di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman
Singkel. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan
Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri. Di sekolah ini beliau belajar
ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa
Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan
pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syeikh Syamsuddin As
Samathrani. Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar)
pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf
bertolak ke Mekah dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk
mendalami ilmu di sana.
Syeikh Muhammad Al Babili merupakan
salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain. Adapaun Syeikh
Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syeikh Abdurrauf tinggal
selama 19 tahun di Mekah.
Syeikh Abdurauf bercerita bahwa
dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an
di Bait al faqih dan Mauza’. Lewat gurunya ini, ia berkenalan dengan tokoh
tarekat seperti Syeikh Ahmad Qusyaysi dan Syeikh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya
Syeikh Abdurauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah. Tentang gurunya ini
syikh Abdurrauf menyebutnya sebagai pembimbing spiritual di jalan Allah.
Sekitar tahun 1622 M Abdurrauf
pulang kampung. Ia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya.
Banyak santri yang berdatangan untuk berguru. Muridnyapun berasal dari berbagai
daerah di wilayah Nusantara. Diantara muridnya yang paling terkenal adalah
Syikh Burhanuddin Ulakan Sumatera Barat dan Syeikh Abdullah Muhyi, Pamijahan,
Jawa Barat.
Pengaruhnya sangat penting di
kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak
peutus Merehom, Humkom bak Syiekh di Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan
almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala. Ayat ini
mejelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam
pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika
gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan.
Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama moden Indonesia, di dalam
tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih
Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada
Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (meninggal dunia pada tahun 1956 di Kuala
Kangsar), yang berbunyi: “Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita
daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana
cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang
mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi
kasyaf lagi mempunyai keramat iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh
Abdurrauf.”
- Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad
al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah
tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di
Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an
bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar
at-Ta’wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884 Sebagai ulama tasawuf, Syeikh
Abdurauf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tarekat Syatariyah. Hampir
semua ordo tarekat Syatariyah di Nusantara silsilahnya berujung padanya.
Tarekat ini tersebar mulai dari Aceh hinga ke Sumatera Barat. Kemudian
berkembang menyusur ke Sumatera Selatan hingga Cirebon.
Dalam bertasawuf Abdurauf menganut
paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah
bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan)
berbeda dengan wu jud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini.
Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan
secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna
pada Insan Kamil.
Syeikh Abdurauf juga sangat tidak
sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli,
Abdurrauf menyatakan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan,
Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri. Banyak karya yang dihasilkan
olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1
kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf. Syeikh
Abdurauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul
Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di
Indonesia dengan bahasa Melayu. Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy
Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu
fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini
juga menjadi panduan para kadi di kerajaan Aceh.
Di bidang tasawuf, karyanya natara
lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin
dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin. Kitab yang terakhir ini
merupakan karya terpenting Syeikh Abdurauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk
maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat
tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nyadan asal usul mistik.
- Pengajaran dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh
sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat
Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal
dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal
ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Karya-karya Abdurrauf Singkil yang
sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
- Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
- Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
- Terjemahan Hadits Arba’in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
- Mawa’iz al-Badî’. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
- Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
- Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
- Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
- Wafat
Label: Nanggroe
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda