Kisah/Sejarah Masa Hidup Iskandar Muda
Sultan Iskandar
Muda merupakan Raja paling berpengaruh pada Kerajaan Aceh. Ia lahir di
Aceh pada
tahun 1593. Nama kecilnya adalah Perkasa Alam. Dari pihak ibu, Sultan
Iskandar Muda merupakan keturunan dari Raja Darul-Kamal, sedangkan
dari pihak ayah ia merupakan keturunan Raja Makuta Alam, Ibunya
bernama Putri Raja Indra Bangsa, atau nama lainnya Paduka Syah Alam,
yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan Sultan Mansyur Syah, putra dari Sultan Abdul Jalil (yang merupakan putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3). Jadi, sebenarnya ayah dan ibu dari Sultan Iskandar Muda merupakan sama-sama pewaris kerajaan.
Sultan Iskandar Muda menikah dengan seorang
putri dari Kesultanan Pahang, yang lebih dikenal dengan Putroe Phang.
Dari hasil pernikahan ini, Sultan Iskandar Muda dikaruniai dua buah anak,
yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah. Konon, karena terlalu
cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan
pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali
(Taman
Istana) sebagai tanda
cintanya.
Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke
Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai
Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar
Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian
dikaruniai seorang anak bernama Abdul Jalil (yang dinobatkan sebagai
Sultan Asahan).
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta
Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di
Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia
mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun,
mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada
tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607.
Masa kekuasaan Sultan Iskandar
Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam
sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun
Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang Kuat, Besar, dan tidak saja disegani
oleh Kerajaan-Kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa
kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan
Terbesar di Dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk
memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi
dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah
menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah,
dan Nias sejak tahun 1612 hingga
1625.
Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Menurut tradisi Aceh, Sultan Iskandar Muda membagi
wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang
dinamakan Ulèëbalang dan Mukim, ini dipertegas oleh laporan
seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa
"Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan
bangsawan baru." Mukim pada awalnya adalah himpunan be
berapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam
(Imeum). Ulèëbalang (Hulubalang) pada awalnya barangkali
bawahan utama Su ltan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk
dikelolanya sebagai Pemilik Feodal.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki
hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Konon, ia pernah menjalin komunikasi
yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah
Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah
menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu
dipegang oleh Ratu Elizabeth I. Melalui utusannya, Sir James
Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi surat yang disampaikan
kepada Sultan Iskandar Muda. Berikut cuplikan isi surat Sultan
Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh pemerintah sampai saat ini, tertanggal
tahun 1585 :
"I am the mighty ruler of the Regions below
the wind, Who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and
over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the
sunset."
Artinya:
"Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam"
"Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam"
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah
Ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di
Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai
penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan.
Hubungan tersebut diibaratkan "Adat
bak Peutoe Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala " ( Adat di bawah
kekuasaan Sultan, Kehidupan hukum beragama di bawah keputusan Tuan Syiah
Kuala). Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat
terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh
Syamsuddin As-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan
Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits –
pendiri Dinasti Oranje Belanda juga pernah mengirim surat dengan
maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud
baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan
tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang
Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul
Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara
besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para Pembesar - Pembesar Belanda.
Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau
dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam
beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia
Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda
Yang Mulia Ratu Beatrix.
Sultan Iskandar Muda mengirim utusannya untuk
menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel.
Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan
Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit
demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada
akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya
tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung.
Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.
Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.
Saat itu Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan
utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula
bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar
Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka
mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan. Dalam
bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar
Muda amat menggemari benda-benda berharga.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan
satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee
Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan
Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua
kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo
Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan
Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan
gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan
aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini
hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di
sanalah Sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Sultan Iskandar Muda meninggal di Aceh pada
tanggal 27 Desember 1636, dalam usia yang terbilang masih cukup muda, yaitu 43
tahun. Oleh karena sudah tidak ada anak laki-lakinya yang masih hidup, maka
tahta kekuasaanya kemudian dipegang oleh menantunya, Sultan Iskandar
Thani (1636-1641). Setelah Sultan Iskandar Tani wafat tahta kerajaan
kemudian dipegang janda Iskandar Tani, yaitu Sultanah Tajul Alam
Syafiatudin Syah atau Puteri Safiah (1641-1675), yang juga
merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda merupakan pahlawan
nasional yang telah banyak berjasa dalam proses pembentukan karakter yang
sangat kuat bagi nusantara dan Indonesia. Selama menjadi raja, Sultan Iskandar
Muda menunjukkan sikap Anti-kolonialisme-nya. Ia bahkan sangat tegas
terhadap kerajaan-kerajaan yang membangun hubungan atau kerjasama
dengan Portugis, sebagai salah satu penjajah pada saat itu.
Sultan Iskandar Muda mempunyai karakter
yang sangat tegas dalam menghalau segala bentuk dominasi kolonialisme. Sebagai
contoh, Kurun waktu 1573-1627 Sultan Iskandar Muda pernah melancarkan
jihad perang melawan Portugis sebanyak 16 kali, meski semuanya gagal
karena kuatnya benteng pertahanan musuh. Kekalahan tersebut menyebabkan jumlah
penduduk turun drastis, sehingga Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan
untuk menarik seluruh pendudukan di daerah-daerah taklukannya, seperti
di Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak,
serta Deli, untuk migrasi ke daerah Aceh inti
.
Pada saat berkuasa, Sultan Iskandar
Muda membagi aturan hukum dan tata negara ke dalam Empat
bidang yang kemudian dijabarkan secara praktis sesuai dengan tatanan
kebudayaan masyarakat Aceh.
.
Pertama: bidang Hukum yang diserahkan kepada Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. .
Kedua: bidang Adat yang diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan dan Penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. .
Ketiga: bidang Resam yang merupakan urusan Panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. .
Pertama: bidang Hukum yang diserahkan kepada Syaikhul Islam atau Qadhi Malikul Adil. Hukum merupakan asas tentang jaminan terciptanya keamanan dan perdamaian. Dengan adanya hukum diharapkan bahwa peraturan formal ini dapat menjamin dan melindungi segala kepentingan rakyat. .
Kedua: bidang Adat yang diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan dan Penasehat. Bidang ini merupakan perangkat undang-undang yang berperan besar dalam mengatur tata negara tentang martabat hulu balang dan pembesar kerajaan. .
Ketiga: bidang Resam yang merupakan urusan Panglima. Resam adalah peraturan yang telah menjadi adat istiadat (kebiasaan) dan diimpelentasikan melalui perangkat hukum dan adat. Artinya, setiap peraturan yang tidak diketahui kemudian ditentukan melalui resam yang dilakukan secara gotong-royong. .
Keempat: bidang Qanun yang merupakan
kebijakan Maharani Putro Phang sebagai permaisuri Sultan
Iskandar Muda. Aspek ini telah berlaku sejak berdirinya Kerajaan Aceh.
Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai raja yang sangat tegas
dalam menerapkan Syariat Islam. Ia bahkan pernah
melakukan Rajam terhadap puteranya sendiri, yang bernama Meurah
Pu pok karena melakukan perzinaan dengan istri seorang perwira
.
Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh Darussalam menerapkan Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf.
Sultan Iskandar Muda juga pernah mengeluarkan kebijakan tentang pengharaman riba. Tidak aneh jika kini Nanggroe Aceh Darussalam menerapkan Syariat Islam karena memang jejak penerapannya sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sultan Iskandar Muda juga sangat menyukai Tasawuf.
Sultan Iskandar Muda pernah berwasiat agar
mengamalkan Delapan Perkara, Sang Sultan berwasiat kepada
para Wazir, Hulubalang, Pegawai, dan Rakyat di
antaranya adalah sebagai berikut :
1. Pertama,
agar selalu ingat kepada Allah Ta'ala dan memenuhi janji yang telah
diucapkan.
2. Kedua,
jangan sampai para Raja menghina Alim Ulama dan Ahli Bijaksana.
3. Ketiga,
jangan sampai para Raja percaya terhadap apa yang datang dari pihak musuh.
4. Keempat,
para Raja diharapkan membeli banyak senjata. Pembelian senjata dimaksudkan
untuk meningkatkan kekuatan dan pertahanan kerajaan dari kemungkinan serangan
musuh setiap saat.
5. Kelima,
hendaknya para raja mempunyai sifat Pemurah (turun tangan). Para raja
dituntut untuk dapat memperhatikan nasib rakyatnya.
6. Keenam,
hendaknya para raja menjalankan hukum
berdasarkan Al-Qur‘an dan Sunnah Rasul.
7. Ketujuh,
di samping kedua sumber tersebut, sumber hukum lain yang harus dipegang
adalah Qiyas dan Ijma‘.
8. Kedelapan,
baru kemudian berpegangan pada Hukum
Kerajaan , Adat , Resam, dan Qanun.
Wasiat-wasiat tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Iskandar
Muda merupakan pemimpin yang saleh, bijaksana, serta memperhatikan
kepentingan Agama, Rakyat, dan Kerajaan.
Hamka melihat kepribadian Sultan Iskandar Muda sebagai
pemimpin yang saleh dan berpegangan teguh pada prinsip dan syariat Islam.
Tentang kepribadian kepemimpinannya, Antony Reid melihat
bahwa Sultan Iskandar Muda sangat berhasil menjalankan kekuasaan yang
otoriter, sentralistis, dan selalu bersifat ekspansionis. Karakter Sultan
tersebut memang banyak dipengaruhi oleh sifat kakeknya. Kejayaan dan
kegemilangan Kerajaan Aceh pada saat itu memang tidak luput dari karakter
kekuasaan monarkhi karena model kerajaan berbeda dengan konsep kenegaraan
modern yang sudah demokratis.
Surat Sultan
Iskandar Muda kepada Raja Inggris King James I, Pada tahun 1615
merupakan salah satu karyanya yang sungguh mengagumkan. Surat (manuskrip)
tersebut berbahasa Melayu, dipenuhi dengan hiasan yang sangat indah berupa
motif-motif kembang, tingginya mencapai satu meter, dan konon katanya surat itu
termasuk Surat Terbesar Sepanjang Sejarah. Surat tersebut ditulis sebagai
bentuk keinginan kuat untuk menunjukkan kepada Dunia internasional betapa
pentingnya Kerajaan Aceh Darussalam sebagai Kekuatan Utama di
Dunia.
Melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 077/TK/ Tahun 1993 tanggal
14 September 1993, Sultan Iskandar Muda dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah RI serta mendapat tanda
kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana (Kelas II). Sebagai wujud
pernghargaan terhadap dirinya, nama Sultan Iskandar Muda diabadikan
sebagai nama jalan di sejumlah daerah di Tanah Air, Nama Sultan telah
di Abadikan sebagai Kapal Perang KRI Sultan Iskandar Muda, Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda dan Kodam Iskandar Muda Nanggroe
Aceh Darussalam.
Label: pahlawan